Tautan jari
Aku terlahir dalam kehampaan dan
kesendirian. Kebiasaanku mengeluh tak lagi dapat menjawab pertanyaan bodoh ini.
Dan juga, aku merasa lelah akan hidup, aku tak ingin hidup, aku tak memiliki
tujuan hidup dan aku tak perlu hidup.
Aku melangkahkan kakiku kesekolah, ya
ada banyak orang disana. Dan aku tetap melewati mereka. Entahlah, aku merasa
tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Sang penikmat kehidupan, merasa
senang ketika senang dan sedih ketika sedih. Dengan melihat mereka semua, aku
merasa sangat aneh. Apa yang mereka rasakan ketika mereka bersama? Apa yang
mereka tertawakan? Aku tidak dapat merasakan lelucon disana.
Ya, itulah yang aku pikirkan setiap hari
sebelum ia mulai masuk menghancurkan prinsip-prinsip hidup yang sudah kususun
dengan rapi. Satu persatu prinsipku lenyap dan sedikit demi sedikit
keberadaannya menjadi sesuatu yang membuatku merasakan hal yang aneh. Yang aku
tidak tahu apakah aku menyukai sesuatu ini atau tidak.
“Hey!” Kejutnya. Berpura-pura menjadi tenang
dan damai. Matanya berbinar seolah-olah ia adalah makhluk yang paling
beruntung, seolah-olah tak ada masalah yang ada dikepalanya sekarang.
Tersenyum, ia selalu tersenyum, tapi aku tidak dapat menemukan senyumnya yang
sebenarnya.
Pertama kali aku melihatnya menangis dan
bersedih, aku dapat merasakan hawa yang sangat menyakitkan ketika melihat
ekspresi datarnya ketika bertemu denganku. Dan terakhir kali aku melihatnya,
sekarang ini, senyumnya yang aneh dan emosinya layaknya seorang anak-anak,
seperti seseorang yang tidak memiliki masalah. Tapi tetap saja, aku dapat
melihat masalahnya dengan jelas, walaupun ditutupi senyum anehnya.
“Kepvin? Ada apa?” Tanyanya memecahkan
konsentrasiku pada teka-teki hidupnya. “Nggak.” Jawabku singkat dan mulai
menutup mata.
Beberapa kemudian aku terkejut, aku
merasakan seseorang sedang memegang tanganku, lebih tepatnya menggenggam.
“Bagaimana rasanya?” Tanyanya padaku.
Aku tetap diam seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Perasaan aneh sudah
menggelitiku semenjak ia memegangnya. Aku tidak dapat mendeskripsikan dengan
baik apakah ini perasaan nyaman atau perasaan tidak nyaman. Aku tidak ingin
berlama-lama memegang tanganku, tapi aku juga tidak ingin ia melepasnya dengan
cepat.
“Bagaimana rasanya?” Tanyanya lagi. Dan
membuat perasaan aneh ini semakin besar. “Biasa.” Jawabku asal. Dan masih tidak
membuka mata.
“Terima kasih.” Ucapnya padaku dan
semakin menggenggam tanganku dengan erat.. Aku pun reflek membuka mata terkejut
akan kata yang ia ucapkan. Ia melihat kearahku, ia melihatku dengan senyumnya. Angin
mulai berhembus dari arah barat.Dan lagi, aku merasakan perasaan yang aneh.
“Apa aku benar-benar bukan temanmu?”
Tanyanya lagi. Aku benar-benar bingung menjawab pertanyaan simpelnya itu. Tentu
saja ia bukan temanku. Ia hanya akan sekedar mampir dan menghilang. Sama
seperti yang lainnya. Menghilang dariku dan membuatku merasakan kehampaan lagi.
Sebelum itu terjadi, aku harus membiasakan diri dengan kehampaan ini dengan
tidak menganggapnya seorang teman.
Ia membalikkan badanku dan membuatku
terpaksa melihatnya. Ia mengangkat tanganku dan menautkan jari-jarinya disela
jariku. Dan ia kembali bertanya “Bagaimana rasanya?” namun, sekarang, aku
merasa tuli dan bisu seketika. Sebuah kesejukan dan kenyamanan aku rasakan.
Matanya dan senyumnya yang kulihat sekarang terasa begitu dekat. Tentu saja,
aku kembali menjawabnya dengan “Biasa aja.”
“Terima kasih.” Ucapnya lagi. Dan
lagi-lagi dengan kata dan senyum yang sama.
“Kenapa? Kenapa harus aku?” Tanyaku
spontan dan ia pun masih memasang wajah yang sama.
“Karna kau berbeda. Kau adalah orang
terunik yang pernah aku temui.” Ucapnya.
“Dan kau, orang teraneh yang pernah aku
temui.” Jawabku.
“Jangan takut. Hidup ini tidak untuk
menunggu mati kau tau? Dan aku disini, aku tetap disini. Aku ingin aku bisa
membantumu keluar dari masalahmu. Dan aku benar-benar ingin hal itu terjadi.
Membawamu keluar dan melihat dunia yang indah.” Ujarnya dan membuatku terkejut
dalam diam.
“Kau tidak akan bisa menyelesaikannya.
Orang sepertimu hanya akan terbebani olehku. Dan aku benci menyusahkan orang
lain. Aku memiliki masalahku sendiri dan kau mungkin tidak bisa
menyelesaikannya dengan baik sehingga langkah terakhir yang akan kau ambil
adalah menjauh dari masalah ini atau terdiam.”
“Jari-jarimu berkata lain. Mereka tidak
melepaskan tautan jariku. Kehangatannya membuat semua orang yang merasakannya
menjadi nyaman. Dan mata itu, aku melihat melodi yang indah. Rambutmu juga
membuatku merasa aneh. Kenapa ada orang yang memiliki rambut sehitam ini? Aku
benar-benar tidak mengerti.” Ujarnya dan kembali membuatku harus berpikir dua
kali menelaah kata-katanya ini.
“Jika kau merasakannya. Berarti, aku
temankan? Jika kau merasakan hal yang aku rasakan ini, berarti kita teman.”
Ujarnya dan berlari menjauh dariku, lebih tepatnya berlari kecil. Karena, bel
masuk berdering dengan kerasnya.
Aku berpikir dan berpikir, sambil
melangkahkan kaki menuju kekelasku aku berpikir. Apa yang membuat ia sangat
ingin berteman dengan orang sepertiku? Apa alasan ia memilihku? Nyaman? Melodi
yang indah? Kenapa kata-kata itu membuatku menjadi merasa aneh? Kenapa
tindakannya selalu saja aneh?
Kalau menjadi temannya adalah sesuatu
yang buruk, namun bisa menenangkan dan nyaman, membuatku tetap menjadi aku dan
membuatnya tetap menjadi dia. Dan jika menjadi temannya akan membuat kami tetap
menjadi kami. Jika menjadi temannya berarti aku akan merasakan hal aneh ini
setiap kali, aku rasa tidak apa-apa. Lagipula, apa salahnya? Jika ia menyesal
berteman denganku itu adalah masalahnya sendiri.
Jadi, kali ini. Aku mematahkan prinsipku
yang lainnya. Sekarang, aku memiliki teman dan jujur, aku menyukai hal ini.
No comments:
Post a Comment