Tuesday 13 September 2016

CERPEN - TAUTAN JARI


Tautan jari
Aku terlahir dalam kehampaan dan kesendirian. Kebiasaanku mengeluh tak lagi dapat menjawab pertanyaan bodoh ini. Dan juga, aku merasa lelah akan hidup, aku tak ingin hidup, aku tak memiliki tujuan hidup dan aku tak perlu hidup.

Aku melangkahkan kakiku kesekolah, ya ada banyak orang disana. Dan aku tetap melewati mereka. Entahlah, aku merasa tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Sang penikmat kehidupan, merasa senang ketika senang dan sedih ketika sedih. Dengan melihat mereka semua, aku merasa sangat aneh. Apa yang mereka rasakan ketika mereka bersama? Apa yang mereka tertawakan? Aku tidak dapat merasakan lelucon disana.
Ya, itulah yang aku pikirkan setiap hari sebelum ia mulai masuk menghancurkan prinsip-prinsip hidup yang sudah kususun dengan rapi. Satu persatu prinsipku lenyap dan sedikit demi sedikit keberadaannya menjadi sesuatu yang membuatku merasakan hal yang aneh. Yang aku tidak tahu apakah aku menyukai sesuatu ini atau tidak.
“Hey!” Kejutnya. Berpura-pura menjadi tenang dan damai. Matanya berbinar seolah-olah ia adalah makhluk yang paling beruntung, seolah-olah tak ada masalah yang ada dikepalanya sekarang. Tersenyum, ia selalu tersenyum, tapi aku tidak dapat menemukan senyumnya yang sebenarnya.
Pertama kali aku melihatnya menangis dan bersedih, aku dapat merasakan hawa yang sangat menyakitkan ketika melihat ekspresi datarnya ketika bertemu denganku. Dan terakhir kali aku melihatnya, sekarang ini, senyumnya yang aneh dan emosinya layaknya seorang anak-anak, seperti seseorang yang tidak memiliki masalah. Tapi tetap saja, aku dapat melihat masalahnya dengan jelas, walaupun ditutupi senyum anehnya.
“Kepvin? Ada apa?” Tanyanya memecahkan konsentrasiku pada teka-teki hidupnya. “Nggak.” Jawabku singkat dan mulai menutup mata.
Beberapa kemudian aku terkejut, aku merasakan seseorang sedang memegang tanganku, lebih tepatnya menggenggam.
“Bagaimana rasanya?” Tanyanya padaku. Aku tetap diam seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Perasaan aneh sudah menggelitiku semenjak ia memegangnya. Aku tidak dapat mendeskripsikan dengan baik apakah ini perasaan nyaman atau perasaan tidak nyaman. Aku tidak ingin berlama-lama memegang tanganku, tapi aku juga tidak ingin ia melepasnya dengan cepat.
“Bagaimana rasanya?” Tanyanya lagi. Dan membuat perasaan aneh ini semakin besar. “Biasa.” Jawabku asal. Dan masih tidak membuka mata.
“Terima kasih.” Ucapnya padaku dan semakin menggenggam tanganku dengan erat.. Aku pun reflek membuka mata terkejut akan kata yang ia ucapkan. Ia melihat kearahku, ia melihatku dengan senyumnya. Angin mulai berhembus dari arah barat.Dan lagi, aku merasakan perasaan yang aneh.
“Apa aku benar-benar bukan temanmu?” Tanyanya lagi. Aku benar-benar bingung menjawab pertanyaan simpelnya itu. Tentu saja ia bukan temanku. Ia hanya akan sekedar mampir dan menghilang. Sama seperti yang lainnya. Menghilang dariku dan membuatku merasakan kehampaan lagi. Sebelum itu terjadi, aku harus membiasakan diri dengan kehampaan ini dengan tidak menganggapnya seorang teman.
Ia membalikkan badanku dan membuatku terpaksa melihatnya. Ia mengangkat tanganku dan menautkan jari-jarinya disela jariku. Dan ia kembali bertanya “Bagaimana rasanya?” namun, sekarang, aku merasa tuli dan bisu seketika. Sebuah kesejukan dan kenyamanan aku rasakan. Matanya dan senyumnya yang kulihat sekarang terasa begitu dekat. Tentu saja, aku kembali menjawabnya dengan “Biasa aja.”
“Terima kasih.” Ucapnya lagi. Dan lagi-lagi dengan kata dan senyum yang sama.
“Kenapa? Kenapa harus aku?” Tanyaku spontan dan ia pun masih memasang wajah yang sama.
“Karna kau berbeda. Kau adalah orang terunik yang pernah aku temui.” Ucapnya.
“Dan kau, orang teraneh yang pernah aku temui.” Jawabku.
“Jangan takut. Hidup ini tidak untuk menunggu mati kau tau? Dan aku disini, aku tetap disini. Aku ingin aku bisa membantumu keluar dari masalahmu. Dan aku benar-benar ingin hal itu terjadi. Membawamu keluar dan melihat dunia yang indah.” Ujarnya dan membuatku terkejut dalam diam.
“Kau tidak akan bisa menyelesaikannya. Orang sepertimu hanya akan terbebani olehku. Dan aku benci menyusahkan orang lain. Aku memiliki masalahku sendiri dan kau mungkin tidak bisa menyelesaikannya dengan baik sehingga langkah terakhir yang akan kau ambil adalah menjauh dari masalah ini atau terdiam.”
“Jari-jarimu berkata lain. Mereka tidak melepaskan tautan jariku. Kehangatannya membuat semua orang yang merasakannya menjadi nyaman. Dan mata itu, aku melihat melodi yang indah. Rambutmu juga membuatku merasa aneh. Kenapa ada orang yang memiliki rambut sehitam ini? Aku benar-benar tidak mengerti.” Ujarnya dan kembali membuatku harus berpikir dua kali menelaah kata-katanya ini.
“Jika kau merasakannya. Berarti, aku temankan? Jika kau merasakan hal yang aku rasakan ini, berarti kita teman.” Ujarnya dan berlari menjauh dariku, lebih tepatnya berlari kecil. Karena, bel masuk berdering dengan kerasnya.
Aku berpikir dan berpikir, sambil melangkahkan kaki menuju kekelasku aku berpikir. Apa yang membuat ia sangat ingin berteman dengan orang sepertiku? Apa alasan ia memilihku? Nyaman? Melodi yang indah? Kenapa kata-kata itu membuatku menjadi merasa aneh? Kenapa tindakannya selalu saja aneh?
Kalau menjadi temannya adalah sesuatu yang buruk, namun bisa menenangkan dan nyaman, membuatku tetap menjadi aku dan membuatnya tetap menjadi dia. Dan jika menjadi temannya akan membuat kami tetap menjadi kami. Jika menjadi temannya berarti aku akan merasakan hal aneh ini setiap kali, aku rasa tidak apa-apa. Lagipula, apa salahnya? Jika ia menyesal berteman denganku itu adalah masalahnya sendiri.
Jadi, kali ini. Aku mematahkan prinsipku yang lainnya. Sekarang, aku memiliki teman dan jujur, aku menyukai hal ini.
Lagipula, aku mengetahui arti menangis, tertawa, tersenyum darinya,kan? Jadi, tidak apa-apa jika kami berteman. Tidak apa-apa jika aku akan menjadi temannya. Walaupun aku belum terlalu mengerti, arti perkataannya itu. Teman, ya?

No comments:

Post a Comment