HAI GUYS, AKU MAU SHARE CERPEN BUATAN AKU NIH. MAAF KALO GAJE ATAU CERITANYA MEMBOSANKAN. MAKASIH BUAT YANG UDAH BACA YA. JANGAN LUPA FOLLOW TWITER AKU DI @TASYAMARIANI
CERPENKU - DIA AYAHKU
TASYA MARLIANI
Ayam
jantan berkokok sedemikian keras untuk menyadarkan sekampung penduduk yang
sedang bermain didalam mimpi nan indah maupun nan kelam. Seorang laki-laki yang
sudah terbangun membersihkan dirinya dengan air yang dingin dikamar mandi dan
memakai baju kuning yang setia menemaninya untuk 1 hari kedepan. Ia adalah
Ahmad.
Ia
melangkahkan kakinya sambil meraih tas yang warnanya sudah pudar. Ia pun menuju
kesebuah kamar yang berpintu kayu. Dan ditemuilah sosok seorang perempuan yang
sedang terlelap dalam tidurnya yang merupakan buah hatinya.
Ia
mengelus-elus puncak kepala sosok kecil tersebut dengan hati-hati agar tidak
membangunkan malaikatnya yang sedang tertidur itu. Dan dikecupnya dahi sang
malaikat kecil dengan penuh harapan dan doa agar ia tumbuh sesuai dengan
harapan.
Ternyata,
anaknya terbangun dikala ia mengelus-elus kepalanya. Ia hanya tersenyum
memperhatikan anaknya yang sedang menguap dan menggosok-gosokkan matanya agar
ia bisa melihat lebih jelas makhluk apa yang ada didepannya sekarang.
“Oo,
Ayah.. Ayah mau kemana pagi-pagi?…” Tanya Dini sang buah hati kepada Sang Ayah dengan
mata setengah terbuka dan masih setengah sadar.
“Ayah
mau pergi kerja, Dini tidurlah lagi, sekarangkan masih jam setengah 5. Nanti
jangan lupa sholat shubuh” Jawab Ayah dan mengecup dahinya lagi dan
melangkahkan kakinya menjauh dari ranjang milik Dini tersebut.
“hoaam…
Ayah, hati-hati dijalan ya..” Kata Dini dan kembali terlelap melanjutkan
mimpinya yang sempat tertunda. Ahmad yang sempat melirik anaknya itu tersenyum
tipis dikala Dini kembali tertidur pulas.
Ahmad
menuju dapur melihat sarapan yang telah ia siapkan untuk Anak semata wayangnya
itu. Istrinya sudah meninggal 1 tahun yang lampau, meninggalkan kenangan indah
yang tak pernah tertiup angin kelam dalam diri Ahmad.
Dengan
kaki kurusnya, ia mulai menelusuri jalan yang diterangi lampu jalanan yang
teramat sepi. Wajar, karena waktu masih menunjukkan jadwal tidur para insan
ciptaan tuhan. Setelah beberapa ratus ia melangkah, tibalah ia disebuah kantor
yang berwarna kuning sama persis seperti warna baju dan topi yang ia pakai
sekarang.
Dipijaknyalah
lantai kantor pos itu dengan kakinya dan menyapa orang-orang yang ia lewati dan
sampailah ia didepan bisnis nyatanya, bermain dengan surat dan kiriman.dari
berbagai penjuru daerah se-indonesia ini.
Sambil
menyusun surat-surat yang ada didalam tas kuning kusamnya itu, ia mendengarkan
keluhan dari teman seperjuangannya Doni yang memiliki pekerjaan yang sama
dengannya, yaitu mengirimkan semua kiriman kepada alamat yang tertera pada
kiriman tersebut.
“huft..
sudah 2 tahun aku disini, tapi pangkatku tak naik-naik juga, aku selalu kerja
lembur tapi tak pernah naik pangkat. Hidup ini memang tak adil buatku” Keluh
Doni kepada Ahmad sambil memasukkan kiriman-kiriman didalam tasnya dengan
tenaga yang sedikit kuat dan terpaksa.
“hei,
jangan ngeluh-ngeluh gitu.. kita kan tukang pos, kerjanya ngantar kiriman.
Memangnya kamu mau kerja apalagi? Jadi kepala kantor pos ini? Pakai komputer
saja kamu gak bisa hahaha….” Kata Ahmad kepada Doni dengan sedikit candaan
untuk membuat suasana menjadi santai.
“kamu
benar juga, jangankan pakai komputer, pegang saja gak pernah.. kamu tau? Dulu
saya selalu jadi juara kelas dismp saya, jangan sangka saya sebodoh itu ya…”
kata Doni dengan percaya diri dan mereka berdua tertawa bersama-sama.
Dengan
segenap tenaga yang ia miliki, Ahmad pun langsung menaiki sepeda kuning yang
bermerekkan ‘Kantor Pos Duta Abadi’ yang akan membantunya menjalani tugasnya.
Segeralah ia kayuh sepedanya dengan sekuat tenaga dan mulai menuju ke alamat
yang tertera pada salah satu kirimannya.
Matahari
pun mulai naik dengan gagah perkasa dilangit, membuat sekujur badan tukang pos
ini menjadi bermandikan keringat. Tapi, tidak menurunkan semangatnya untuk
terus mengayuh sepedanya. Ia terus melaju dengan sepedanya itu, mengantarkan
segala macam kiriman baik yang besar maupun yang kecil.
BRAK!
Sebuah batu besar bisu mencelakakan Ahmad yang perasaannya telah puas, karena
telah mengantarkan semua kiriman kepada seluruh penjuru kota. Sepeda yang ia
naiki menjatuhkan dirinya ketengah jalan yang banyak dilalui kendaraan.
Dan
ketika Ahmad hendak bangkit dari jatuhnya, sebuah sepeda motor yang melaju
kencang dari utara, memberikan hadiah kedua untuk Ahmad, membuat Ahmad terpaksa
kembali mencium aspal yang panas dan membuat dirinya bertambah sakit.
Orang-orang
yang melihat Ahmad memegangi tangannya yang terlihat amat menyakitkan, refleks
berlari menuju Ahmad untuk dibawa ketepi jalan. Darah bercucuran dikepalanya,
Ahmad tak henti-henti berteriak kesakitan sambil memegang tangan kirinya, lalu
ia dilarikan dirumah sakit yang dekat dengan lokasi kecelakaan itu terjadi.
Dini,
anak semata wayang yang ia besarkan sendiri, setelah mendengar berita tentang
ayahnya, mengeluarkan tetesan air mata yang terbendung dipelupuk matanya. Ia
sangat sedih. Tak ingin kehilangan seorang ayah yang sangat ia cintai, dan
satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang semenjak kematian ibunya.
Sesampainya
dirumah sakit, Dini tidak diizinkan masuk keruangan ayahnya, walaupun hanya
sebentar. Dini semakin kesal dan marah, ia pun berteriak dari luar ruang dimana
ayahnya berada sekarang, berharap bahwa sang Ayah akan keluar setelah mendengar
panggilan dari dirinya. Namun sayang, jangankan untuk keluar dari ruangan,
mendengarkan teriakannya tidak bisa. Karena ruangan yang ditempati ayahnya
dilengkapi dengan alat pengedap suara. Dimana, orang- yang ada didalam ruangan
tidak dapat mendengarkan orang-orang diluarnya begitu juga sebaliknya.
“kenapa
aku gak boleh masuk? Dia itu Ayahku, Ayahku.. Aku harus melihatnya” kata Dini kepada
petugas yang menahannya masuk. Ia sangat kesal sekarang, sakin kesalnya ia pun
kembali mengeluarkan air matanya untuk kesekian kalinya.
“Dek..
tenang, tenang dulu. Sekarang ada pemeriksaan dari dokter. Tolong tunggu 15
menit ya…” kata petugas tersebut dengan lembut kepada Dini. Dini tidak dapat
melawan, tenaganya sudah terkuras habis untuk melawan perkataan dari petugas
tersebut.
Ia
jatuh terduduk dikursi tunggu, dan setiap menit ia melirik jam yang ada
ditangannya yang jarum merahnya menurutnya bergerak sangat lamban. Sambil
menunggu, sesekali ia melirik dari jendela yang memiliki cela kecil untuk
melihat kedalam dan mondar-mandir didepan pintu yang bertuliskan “ICU”
tersebut.
“huufftt…
lama banget dokternya. Ayah, ayah baik-baik ajakan didalam? Lagi ngomong sama
dokter itukan? Iyakan?” gumamnya sambil melihat ayahnya dari cela jendela ruang
tersebut.
Sudah
30 menit ia menunggu, tapi pintu tak kunjung terbuka, membuat kekhawatiran
kembali bersarang didalam diri Dini sekarang. Berkali-kali ia berdoa kepada
Allah agar diberikan kesehatan dan umur yang panjang untuk Ayahnya tersayang.
Terdengar
oleh Dini suara pintu terbuka di menit ke-35, ia langsung bertanya kepada
dokter tentang keadaan ayahnya dengan segala harapan dan doa yang selalu
terucap didalam hati kecilnya akan kesehatan ayahnya.
“gi..gimana
dok? Ayah saya baik-baik aja kan?” Tanya Dini to the point kepada dokter
tersebut.
“Tangan
Pak Ahmad harus diamputasi, sebaiknya dilakukan sekarang juga, jika tidak,
kemungkinan besar Pak Ahmad akan meninggalkan dunia ini. Sudah, saya pergi
dulu” Jawab dokter menjelaskan keadaan Ayah Dini.
Dini
berlari dan langsung menuju ruangan tempat dimana ia terbaring sekarang, air
mata Dini kembali menetes dan memeluk ayahnya. Ia tak dapat berkata apa-apa
sekarang. Kekhawatiran didalam dirinya semakin menjadi-jadi dan membuatnya
semakin takut untuk bicara. Yang ia dapat lakukan hanya berdoa, agar diberikan
jalan untuknya dan ayahnya sekarang ini.
Tiba-tiba,
pintu ruangan itu yang seharusnya tertutup langsung terbuka pelan yang
menghasilkan suara yang mengerikan, tapi ternyata Kepala Kantor Pos Duta Abadi,
Budi dan semua rekan-rekannya pergi menjenguk ayahnya. Betapa senangnya hati
Dini, ketika mengetahui bahwa ayahnya punya banyak sekali teman-teman yang
terlihat baik.
“biar
bapak yang membiayai semua biaya operasinya ya, yang penting tangan Ahmad harus
diamputasi sebelum terlambat ya..” kata Kepala Budi kepada Dini yang berada
tepat disampingnya.
“b..bapak
mau? Biayanya m..mahal pak” Tanya Dini terkejut setelah mendengar Pak Budi yang
ingin membantu ayahnya selamat dari sakaratul mautnya sekarang.
“tentu..
Ahmad adalah orang yang paling rajin dikantor pos kami, dan dia selalu
tersenyum kepada semua orang/ berkatnya semua pekerja yang ada dikantor selalu
termotivasi atas semangat yang dimilikinya. Saya sudah menganggapnya sebagai
adik saya sendiri” jawab Pak Budi dengan senyum yang terukir diwajahnya nan
lebar.
Sekarang,
kekhawatiran Dini mulai hilang, ia selalu berdoa gar diberi kelancaran pada
saat operasi dilakukan. Semua orang pun juga menaruh doa dirumah sakit itu
beserta teman-teman Dini yang baru saja tiba.
Operasi
telah dilakukan dengan sukses, Dini pun meloncat kegirangan sambil memeluk
teman disampingnya dan teman-teman Ahmad pun juga ikut tersenyum bahagia.
Sekarang, Dini tidak perlu khawatir untuk kelihangan orang tua yang ia sayang
ini.
Setelah
seminggu operasi dilakukan, Ahmad yang telah kehilangan lengan kirinya pun
masih saja menjadi tukang pos. tukanng pos yang rajin seperti biasanya. Tukang
pos yang baik hati dan murah senyum/ sungguh sosok yang dirindukan oleh semua
orang.
Tak
sengaja Ahmad, Ayah Dini lewat didepan sekolahnya. Dini melambaikan tangannya
kepada Ayahnya, namun ayahnya tidak melihat Dini karena focus terhadap jalanan
yang ditempuhnya.
“Ittu
ayahku!” kata Dini bersemangat kepada sahabat-sahabatnya. Mereka semua
tersenyum dan tertawa. Dini sangat bangga terhadap ayahnya, karena ayahnya
selalu memberikan motivasi dalam kerja kerasnya, selalu memujinya disaat ia
berhasil melakukan sesuatu yang diharapkannya.
“ayahku
tanpa tangan. Hahaha, siapa yang mau punya ayah cacat? Gue? Ogah banget” ucap
Lisa mengejek Dini. Lisa adalah anak orang kaya yang satu kelas dengannya.
Dini
pun refleks ingin memukul Lisa. Akan tetapi, kedua sahabatnya menahan kedua
lengannya untuk mendekat dengan Lisa. Karena, jika terjadi sesuatu pada Lisa,
yang selalu rugi adalah Lawan yang dihadapinya, baik bersalah maupun tidak.
“asal
kamu tau aja ya, ayahku itu bukan sekedar tukang pos cacat, tapi dia adalah
pahlawan semua orang. Kamu gak akan pernah memiliki ayah terhebat didunia
seperti ayahku. Ia adalah ayah nomor 1 didunia ini tauu…!!! DIA AYAHKU!!”
Teriak Dini kepada Lisa. Lalu, Dini tersenyum karena teringat ayahnya memang
ayah nomor 1 didunia.
Lisa
pun meremehkan Dini, ia menjulurkan lidahnya, dikala ia sedang asyiknya
mengejek Dini, kepalanya pun mencium tembok disamping pintu kelasnya. Semua
orang yang ada dikelas tertawa melihat dirinya. Lalu, ia pun cepat-cepat
melarikan diri dari ruang kelasnya itu.
Dengan
semangat yang masih membara didalam dirinya, Ahmad pun pulang dengan tersenyum
cerah. Terlihat sesosok malaikat kecil menunggu didepan pintunya dan
melambaikan tangan kepada dirinya.
“Ayaahhh…”
teriak sosok tersebut, Dini. Ia pun mendekat dan memeluk ayah kesayangannya
itu. Ahmad pun bahagia melihat anaknya yang menyayanginya ini. Semua beban yang
ia lakukan hari ini terasa hilang tanpa bekas saat ia melihat senyum bahagia
sang malaikatnya ini.
Ahmad
dan anaknya pun melangkah memasuki pintu depan rumahnya dengan senyum cerah
mereka masing-masing. Ahmad pun mengakhiri kerja kerasnya dikantor pos
tersayangnya, dan memulai kerja keras lagi besok paginya dan begitu juga
seterusnya.
Ahmad
pun menaiki ranjangnya, sebelumnya ia menyempatkan diri untuk mencium anaknya.
Ia mulai menutup mata dan terlelap terbang kea lam mimpinya. Berharap hari esok
akan bersahabat dengannya, sebagai seorang tukang pos. ***
No comments:
Post a Comment